Website counter

Selasa, 26 Oktober 2010

Tak Sekadar Balas Budi

Untuk setiap air mata yang terurai
Bagi seluruh peluh yang mengalir
Juga perjuangan panjang tak harapkan balasan
Dan setiap senyuman ketika hati teriris perih
Bahkan saat semua tak sesuai keinginan

Kejadian ini telah lama berlalu, hampir sekitar 3 tahun yang lalu. Ketika itu saya sedang menyelesaikan skripsi dan rutin mengunjungi sebuah rental buku untuk meminjam majalah remaja sebagai obyek penelitian. Suatu saat, datang dua orang anak kecil yang saya duga kakak beradik karena berwajah mirip, yang satu berusia sekitar 8 tahun dan lainnya berusia sekitar 5 tahun-an. Dari segi penampilan, mereka tidak terlalu kumel untuk bisa dibilang pengemis. Lalu sang kakak berkata, "Mbak, saya mau cari bapak ke Purwodadi, tapi nggak punya uang." Kemudian penjaga rental buku pun menanyakan, bagaimana mereka bisa terpisah dari bapaknya, dan di mana ibunya saat ini. Sedangkan saya sibuk berpikir, siapa yang mengajari mereka cara "mengemis" seperti itu atau muncul di benak, jangan-jangan bapaknya sendiri yang menyuruh mereka berbuat demikian.

Saya kemudian sedikit melongok ke depan dan berusaha mencari-cari siapa tahu ada orang yang mengikuti mereka dari belakang. Kondisi jalan lengang dan tidak menemukan orang yang bisa saya curigai. Akhirnya, saya memutuskan bertanya sendiri, pertanyaan serupa dengan si mbak penjaga rental yang bernama Evi. Jawaban si kakak yang mengaku bernama Dita, membuat saya bergidik. "Ibu kerja mbak keluar negeri, saya ditinggal bapak kemarin mbak waktu naik bis. Ini mau pulang mbak ke Purwodadi, tapi ndak punya uang," ujarnya. Antara percaya dan tidak percaya apakah anak ini jujur atau tidak, saya terdiam. Evi pun mengatakan, "Bapaknya koq jahat, anaknya ditinggal." Namun si anak seperti tak mengubrisnya, dan berkata, "Sayang koq mbak sama saya, sama adek juga (sambil menerima selembar Rp 5.000 dan berlalu)." Saya merasa ada keyakinan dalam diri bahwa bapak kedua anak tersebut sengaja meninggalkan mereka.

Namun terlepas dari kebenarannya, ada pelajaran kecil dari anak kecil yang mendatangi rental buku pada saat itu. Dengan pikiran mereka yang masih polos dan bersih, mereka tetap menyayangi sang ayah dengan tulus, tak peduli bagaimana ia memperlakukan mereka. Seolah menampar pipi saya, saya teringat bagaimana terkadang saya memperlakukan ayah secara tidak adil. Bukankah ia telah bekerja mati-matian hanya demi memberikan sebuah masa depan yang lebih baik bagi saya? Ketika fajar mulai terbit, ia sudah berkemas dan siap menyambut hari-hari membosankan di kantor, ladang, kebun, bangunan, dan tempat kerja lainnya. Saat mentari terbenam, ia pulang dan justru mendapati wajah kita muram karena tidak dibelikan mainan baru. Atau, ketika kita dewasa, giliran kita yang berlagak sibuk sehingga tak ada waktu mengobrol dan sekedar menengok, padahal mereka rindu suara sapaan kita. Dita dan adiknya yang mendapat perlakuan tak adil saja bisa menyayangi, bagaimana kita? Hanya balas budi? Tentu tidak, karena ada ketulusan di sana. Bercerminlah. • Rani

Sumber : Kompas Klasika | Jumat, 22 Oktober 2010 | Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar