Website counter

Kamis, 21 Oktober 2010

Selalu Lebih Baik, Selalu Tepati Janji

Berawal dari chating ringan dengan teman SMP yang menggalang dana untuk Mbah Mangun melalui sebuah forum di internet, timbul pertanyaan yang menggusik benak saya. Siapakah mbah Mangun dan mengapa harus menggalang dana untuknya? Ternyata, mbah Mangun adalah seorang penjual kentongan di Kota Salatiga, yang sudah berusia cukup renta. Logika saya mulai bekerja dan mempertanyakan, masihkah ada orang yang mau membeli kentongan yang dulunya merupakan salah satu alat komunikasi tradisional di masa menjamurnya teknologi informasi modern. "Mbah Mangun biasa mangkal di dekat stadion Kridanggo, atau di depan SD Kalicacing," ujarnya. Teman saya itu mendapatkan inspirasi setelah membaca sebuah thread di salah satu forum online terbesar di Indonesia. Suatu hari karena rasa iba, si penulis thread memutuskan untuk membeli beberapa kentongan yang dijual oleh mbah Mangun. Pasalnya, setiap hari ia melewati jalan tersebut, tak satu pun kentongan laku terjual, hingga berwarna cokelat berlumut karena mungkin terpapar hujan dan sinar matahari.

Ia berusaha cukup keras untuk sekadar mengobrol dengan mbah Mangun, karena kondisi pendengarannya yang sudah berkurang. Dari pembicaraan itu, ia berhasil mengetahui bahwa bila tak ada penghasilan, mbah Mangun akan berjalan dari Sraten menuju ke Salatiga (jarak sekitar 5 kilometer). Bila ada sedikit uang, baru ia naik kendaraan umum. "Harga satu buah Rp 5000, dan masih bisa ditawar," ujar mbah Mangun. Karena rasa iba, si penulis membeli dua buah kentongan. Walaupun ia tidak membutuhkannya. Setelah menyerahkan uang Rp 10.000, ia berniat segera melanjutkan perjalanan, tetapi mbah Mangun mencegahnya. "Koq, kentongannya nggak dibawa? Mbah sudah jual, ya harus diambil barangnya." Si penulis pun mengatakan nanti akan kembali lagi bersama temannya untuk mengambil kentongan tersebut. Tentunya ia tak berniat kembali lagi karena memang tidak membutuhkan kentongan.

Mbah Mangun mengatakan berjualan hingga jam 3 sore. Ketika mencoba kembali sekitar pukul 5 sore, si penulis tercengang karena mbah Mangun masih berada tak bergeming di sana. Mbah Mangun berkata "Akhirnya datang juga, saya tunggu dari tadi. Katanya mau ambil kentongan, jadi mbah tunggu." Si penulis pun tertegun menahan tangis, dan memutuskan mengantarkan mbah Mangun kembali ke rumahnya. Pernah sekali, saya melihat mbah Mangun dan kentongannya, tetapi kemudian segera berpaling. Baru kali ini saya bergidik membayangkan dengan tubuh tuanya, ia memikul kentongan di tengah terik mentari dan mungkin derasnya hujan menerpa. Namun, di tengah kekurangan, ia masih bisa menepati janjinya. Sedangkan Anda dan saya yang mengaku orang berpendidikan dan beradab, terkadang berjanji untuk memaniskan bibir dan menghiasi kata yang terucap. Di mana komitmen untuk selalu tepati janji? Parahnya lagi, kita sering begitu terpana melihat gemerlapnya dunia, dan selalu merasa kurang dengan apa yang telah didapat, selalu mengeluh tak bisa membeli ini dan itu. Padahal, bila melihat mbah Mangun, bukahkah hidup kita selalu lebih baik? Bercerminlah. • Rani






Tidak ada komentar:

Posting Komentar