Website counter

Selasa, 16 November 2010

Ketika Hati Ikut Bicara


Mentari pagi ini, tak cerah seperti biasanya. Beberapa hari belakangan hujan sering datang sejak dini hari tiba, membuat banyak orang merasa malas beranjak dari peraduannya. Namun hal itu tak berlaku bagi nenek Sukis, wanita berusia 79 tahun yang berprofesi sebagai penjual bunga tabur (untuk pemakaman) di sebuah pasar tradisional. Pagi-pagi benar ia sudah memetik bunga mawar, kenanga, dan lainnya untuk di jual pada mereka yang sedang dirundung duka atau ingin berziarah. Setelah itu ia berjalan tanpa alas kaki menuju ke tempat berkumpulnya penjual bunga lainnya, yang berjarak sekitar 5 kilometer dari rumahnya. Rasa perih dan sakit akibat batu-batuan yang terkadang menusuk telapak kaki telanjangnya tak dihiraukannya. Ketika ditanya mengapa tidak mengenakan sandal, ia mengatakan sudah mencoba, tapi ujung-ujungnya sandal tak akan tahan lama. Memang telapak kaki pemberian Tuhan ini lah yang paling awet.

Udara dingin dan pekat khas pegunungan menembus jarik dan baju tipisnya seolah ingin menghentikan niat mbah Sukis bekerja. Namun, semua itu tak berhasil membuat ia menyerah. Perjalanan ke kota masih 30 menit lagi, dan ditempuh dengan pick up. Mbah Sukis duduk berhimpitan dengan pedagang lainnya sambil bercakap-cakap seadanya. Perjalanan terasa begitu biasa baginya. Sentuhan angin menyibakkan rambut putihnya, dan sesekali berhasil membuat mbah Sukis dan teman-temannya mengantuk. Sesampainya di pasar, ritual berjualan pun berlangsung seperti biasa, dengan pendapatan bersih maksimal Rp 20.000. Kadang, mbah Sukis harus menunggu hingga malam hari tiba sampai habis jualannya. Bila tak ada bis, ia akan duduk di trotoar jalan sambil menunggu mobil yang bisa ditumpangi. Sembari menunggu, ia mengingat anaknya yang bekerja di sebuah pabrik di luar kota dan menggenang almarhum suaminya.

Wajahnya penuh dengan gurat usia senja. Tubuhnya yang kurus menggambarkan perjuangannya untuk hidup dengan menikmati pekerjaannya. Dalam bahasa Jawa, ia mengungkapkan, "Bekerja sebagai penjual bunga ini sudah menjadi hidup saya. Makanya saya melakukannya dengan sepenuh hati. Walaupun bunga akan layu hari ini karena tidak laku, besok saya bisa memetik yang baru. Kerja ya harus diniati. Berapapun hasilnya atau justru tidak dapat apa-apa ya disyukuri saja, yang penting sudah bekerja." Semua terasa begitu mudah dan tulus bagi mbah Sukis yang bekerja dengan berpeluh keringat setiap harinya. Bila kita merenungkan, perjalanan panjang yang dilalui mbah Sukis tak sebanding dengan hasil yang ia dapatkan. Namun ia tetap berkata bila "bunga" hari ini layu karena tak laku, besok masih bisa memetik yang baru. Bila kita bekerja dengan hati dan ketulusan, tak penting seberapa yang kita dapatkan. Mustahil bukan? Paling tidak mbah Sukis sudah melakukannya. Bercerminlah. • Rani

Sumber : Kompas Klasika | Jumat, 5 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar