Website counter

Selasa, 16 November 2010

Dokter Alvita dan Malapetaka Kanker

Dokter Alvita Dewi Siswoyo atau yang biasa disapa Vita, sekian tahun lalu lama menjadi pasien dan langganan rumah sakit. Berulangkali dia menjalani operasi, tambah lagi enam seri kemoterapi, serta 70 kali radioterapi. "kanker kedua telah mengubah hidup saya. Kanker pertama adalah misteri, kanker kedua adalah malapetaka," tutur dokter berusia 26 tahun itu. Karena penderitaan itulah, Vita bertekad menjadi dokter. Pengalaman menjadi pasien yang sering merasa tertekan, sedih, kadang putus asa, diyakini menjadi bekal yang cukup buat memahami pasien. "Saya ingin menyebarkan kepada para pasien penderita kanker serta keluarganya bahwa masih ada harapan dan kita tetap bisa hidup dan berguna untuk orang lain," kata Vita. Suratan takdir membuat Vita harus kehilangan salah satu matanya. "Saya tak pernah tahu rasanya punya dua mata," ucapnya. Padahal, ketika lahir pada 19 Januari 1983, orang tuanya, pasangan dr Loekito Siswoyo dan Vera Wibowo, mendapatkan bayinya dalam keadaan normal.

Seperti orangtua lain pada umumnya, Loekito ingin merayakan setiap momen penting perkembangan buah hatinya. Pada ulang tahun Vita, keluarga merayakan, antara lain dengan tiup lilin. Blup! Tiba-tiba lampu mati. Loekito merasakan ada sesuatu yang mencurigakan ketika melihat mata Vita memancarkan cahaya seperti mata kucing. Foto yang dicetak kemudian semakin memperjelas adanya sinar tajam dari mata kiri Vita. Benar saja, setelah melalui sejumlah pemeriksaan dokter ahli di Jakarta, Vita dinyatakan menderita penyakit yang cukup serius, Retinablastoma. Dokter menyarankan untuk segera mengangkat mata kiri guna menghindari penyebaran ke tempat yang lebih jauh. Operasi yang cukup mendadak itu membuat Vera yang ketika itu sedang hamil anak kedua mengalami pendarahan. Maka, ibu-anak itu berada di dalam rumah sakit yang sama untuk perawatan yang berbeda.

Kendati tidak memilik mata lengkap, Vita kecil sangat aktif menjalani banyak kegiatan. Les musik, menyanyi, dan berenang adalah sebagian kegiatannya di sela-sela aktivitas sekolah. Vita masih ingat, semasa kecil dia adalah anak yang periang, sampai suatu hari ia mendapat ejekan dari teman sekolahnya. "Sejak itu saya jadi pendiam dan menarik diri," katanya. Tak seperti remaja lainnya, sepulang sekolah Vita lebih banyak diam di rumah dan mengutak atik pelajaran. Dia tak berhenti bertanya, mengapa bisa terkena kanker dalam usia yang masih begitu muda. Mengapa matanya harus hilang? Mengapa dunia tidak adil kepada dirinya? Belum selesai dengan berbagai macam pertanyaan, pada usia 16 tahun, petaka datang. Vita dinyatakan menderita kanker jaringan tulang lunak atau yang sering disebut ewing sarcoma stadium 3. Jenis kanker ini cukup langka dan biasa menimpa anak usia 10-20 tahun. Sejak dokter di Jakarta menemukan kanker ditumit kaki, Vita menjalani serangkaian pemeriksaan yang membuat kecil hatinya. Pemeriksaan berlanjut saat orangtuanya membawanya mencari kemungkinan baru di Singapura. Jika rasa sakitnya sedang menyerang, semalaman Vita tak tidur. Untuk berjalan saja, dia tak mampu sehingga harus menggunakan kursi roda. "Derita apa lagi yang harus kujalani? Kenapa aku lagi?" begitu tanyanya hari ke hari. Bangku sekolah terpaksa ditinggalkan selama setahun.

Duka sesama penderita kadang bisa membangkitkan semangat, tetapi kadang justru menghancurkan. Begitulah yang dialami Vita. Pada proses pengobatan, dia berteman dengan Jessica yang terdeteksi kanker tulang stadium 1. Mereka saling memberi dan berbagi seperti dua sahabat yang diikat oleh penderitaan yang sama. Secara awam, Jessica yang waktu itu berusia 14 tahun semestinya lebih mempunyai banyak harapan dibandingkan Vita. Namun, nasib berkata lain. Dalam suatu pertemuan tak sengaja di kantin rumah sakit, dia menyaksikan sahabatnya itu duduk dikursi roda dengan sebelah kaki yang sudah diamputasi. "Ya Tuhan, saya sudah kehilangan mata, saya tidak mau lagi kehilangan kaki," ucapnya dalam hati. "Sejak itu, saya tak mau bertemu Jessica karena saya tak tahu harus bicara apa." Waktu terus berjalan. Vita yang dulu kini sudah menjadi dokter dan motivator bagi pasien-pasien penderita kanker. Saat enam bulan magang di Yayasan Kanker Indonesia, Vita sering menerima telepon yang sekadar minta didengar. Sebagai mantan pasien, Vita memahami sepenuh jiwa suasana batin penderita kanker. Ia juga ikut bisa merasakan rasa tak nyaman akibat pengobatan.

Nasihat agar pasien bersabar, seperti yang umum disampaikan saat kita menjenguk pasien yang sedang terbaring sakit, menurut Vita, tak berguna "Dulu saya benci kalau ada orang bilang, ‘sabar ya, Vit’. Enak saja bilang sabar, sabar," katanya mengenang ucapan-ucapan yang sering disampaikan kerabatnya. Vita merasa beruntung mendapat kasih yang melimpah dari orangtuanya. Masih terus diingatnya ucapan ibunya bahwa di balik kekurangan, pasti ada kelebihannya. Adalah ibunya yang begitu telaten mencekoki dengan jus buah apel, tomat, dan wortel. Sehari Vita bisa menghabiskan masing-masing 1 kilogram, yang dibuat segar dalam beberapa kali. Begitu bosannya, Vita sering protes, "Memangnya perut saya sampah, setiap hari makan begini," ucapnya. Ibunya tak pernah membalas dengan ucapan, hanya sesekali air matanya jatuh. Sementara ayahnya yang dinilai sebagai orang yang sangat kuat pun sempat dilihatnya menangis. Kebahagiaan demi kebahagiaan datang kemudian. Hanya beberapa saat setelah kembali ke kota asalnya, Semarang, Vita dipinang seorang pria. Satu hadiah lagi, pada Mei lalu, dia diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran untuk spesialisasi kedokteran nuklir. Wawancara yang menjadi bagian cukup menentukan benar-benar membesarkan hati. "Sama sekali tidak ada pertanyaan yang meragukan mata saya yang hanya satu. Beruntung pewancara lebih menggali potensi saya daripada kekurangan saya." • Retno Bintarti


Sumber : Harian Kompas, Sosok – Rabu, 29 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar