Website counter

Kamis, 08 April 2010

Pelita Pendidikan di Binasari

By : Richard T.G.R

Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu. Yeremia 29 : 7

Bacaan : Yeremia 29 : 7


Dusun Binasari adalah kawasan yang didiami transmigran lokal dari Binjai, Padang sidimpuan, dan Dalu-dalu, kabupaten Rokan Hulu, Riau. Dusun ini jaraknya 53 km dari Kota Padang Sidimpuan. Kondisi jalan menuju dusun itu rusak parah, sebagian berupa jalan aspal yang berlubang di sana-sini. Sekitar 20 km menjelang dusun itu, jalan banyak dilapisi pasir dan tanah bekas longsoran banjir. Saat hujan turun, kondisi jalan tidak memungkinkan dilintasi kendaraan bermotor karena licin. Keterasingan itu bukan hanya karena kondisi jalan yang sangat buruk, sinyal telepon seluler sama sekali tidak ada di kawasan ini. Penerangan listrik pun menjadi barang mewah. Warga mengandalkan penerangan dari lampu minyak dan satu mesin diesel listrik untuk menerangi tempat ibadah. Untuk keperluan air bersih, warga mengandalkan air dari anak Sungai Batang Gadis dan Batang Saleh. Mereka mencuci dan mandi di sungai.

Singkatnya, Dusun Binasari memenuhi kriteria sebagai daerah tertinggal dan pedalaman yang tentu saja membuat akses pendidikan sangat susah. Sebelum tabun 2001, jarak sekolah terdekat mencapai 15 km dari rumah warga. Pada tahun dusun itu dibangun, tak kurang dari 100 keluarga memilih kembali ke kampung halamannya karena sulitnya mengakses pendidikan. Mereka ingin anaknya bisa sekolah dan berpendidikan. Hal inilah yang mendorong Ruslan Oloan Naibaho untuk mendirikan sekolah Fathan Mubina di dusun Binasari. "Lebih baik kami kurang makan daripada anak-anak kami tidak sekolah," kata Ruslan menirukan alasan warga meninggalkan Binasari. Itu alasan yang masuk akal. Ruslan yang kini menjadi pengusaha ekspor hasil bumi itu, trenyuh dan terdorong untuk membantu warga. Dia kemudian menyampaikan kesulitan warga Binasari kepada keluarganya yang memiliki perusahaan di Batam. Dia berhasil meyakinkan mereka dan mengumpulkan dana tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility / CSR) untuk membangun sekolah.

Ruslan lantas membentuk dan menjadi Ketua Yayasan Fathan Mubina. Yayasan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya Sekolah Dasar Swasta (SDS) Fathan Mubina pada 2001. Yayasan ini membangun sekolah dan menyediakan peralatan sekolah, seperti buku, bangku dan alat tulis. Ruslan pun bertanggung jawab atas operasional sekolah, termasuk gaji enam guru yang mengajar di tempat ini. Bangunan seluas 10 M X 50 M yang berdinding kayu dan beratap seng itu berdiri di atas lahan seluas 7, 5 hektar pemberian warga setempat. Lahan itu sejatinya milik Kabupaten Tapanuli Selatan yang diserahkan kepada warga untuk dikelola sebagai lahan pertanian rakyat. Yayasan Fathan Murbina juga mendapat lahan 300 hektar dari warga untuk dijadikan kebun yang hasilnya nanti diproyeksikan bagi pengembang sekolah. Dalam akta yayasan bahkan disebutkan, Yayasan Fathan Mubina akan membangun perguruan tinggi di Binasari di atas lahan itu.

SD Fathan Mubina menerapkan konsep sekolah gratis. Orangtua siswa sama sekali bebas biaya sekolah. "Kami maunya memberi seragam dan sepatu gratis, tetapi belum sanggup," ujar Ruslan. Karena itu, para guru memaklumi jika siswanya masuk sekolah dengan bersandal jepit atau seragamnya hanya celana merah dan baju coklat muda. Ada juga siswa yang setiap hari memakai baju seragam merah putih itu-itu saja karena hanya seragam itulah yang dia miliki. Sekolah menampung anak-anak yang sama sekali belum pernah bersekolah ataupun mereka yang putus sekolah setelah diajak orangtuanya pindah ke Dusun Binasari. Awalnya hanya 30-an siswa di SD, tapi sekarang berkembang menjadi 123 siswa yang terdiri dari 87 siswa SDS dan 36 siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) Fathan Mubina. Sebenarnya sekolah yang hanya memiliki 3 ruang kelas itu tak memadai untuk menampung siswa yang ada. Ruslan bersama para pengajar harus menyiasatinya. Siswa SD kelas I dan kelas VI belajar pada pagi hari dengan menggunakan satu ruang untuk dua kelas. Adapun siswa MTs masuk setelah shalat dzuhur, tengah hari. Meski fasilitas sekolah tergolong terbatas dan sederhana, siswa Fathan Mubina bersemangat dalam belajar. Pada tahun 2004, salah satu siswa SD Fathan Mubina menyabet juara III dengan nilai terbaik se-Kecamatan Siasis. "Semangat itulah yang kami jaga, " ucap Ruslan.

Sumber : Harian Kompas, Selasa, 6 April 2010 oleh Mohammad Hilmi Faiq
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar