Website counter

Rabu, 22 Desember 2010

Seperti Anak Kecil

Aku, suamiku, dan anakku yang masih bayi suatu ketika makan di sebuah restoran. Kami adalah satu-satunya keluarga yang membawa anak di restoran itu pada waktu itu. Aku mendudukkan Erik, anakku, di kursi yang sedikit lebih tinggi. Aku perhatikan semua orang di restoran itu makan dan bicara dengan sopan. Tiba-tiba dengan wajah sumringah, Erik mengatakan, "Hai." Ia meletakkan tangan mungilnya yang gemuk di lengan kursinya. Matanya berbinar dan dari mulutnya yang tersenyum nampak belum ada gigi yang tumbuh. Ia menggeliat-liat dan terkekeh-kekeh dengan penuh sukacita.

Aku melihat sekeliling mencoba mencari sumber yang membuatnya. Adalah seorang pria dengan jaket compang-camping dan kotor. Celananya longgar dan resletingnya hanya tertutup separuh. Jempol kakinya tampak dari sepatunya yang bolong. Kaosnya kotor dan rambutnya nampak tidak pernah disisir apalagi dicuci. Dari dagunya tumbuh sedikit rambut yang tidak terpelihara. Hidungnya nampak sangat tipis hingga otot-otot hidungnya terlihat, membuatnya nampak seperti peta jalan. Kami terlalu jauh darinya untuk mencium baunya, tapi aku yakin sekali baunya pasti tidak enak. Ia nampak melambai dan sesekali bertepuk tangan untuk mendapat perhatian Erik. "Halo, imut-imut. Halo jagoan. Kamu lucu sekali," kata pria itu kepada Erik. Aku dan suamiku saling memandang, "Apa yang harus kita lakukan?" Semua orang di restoran itu melihat kami dan pria itu. Pria itu dan Erik membuat suasana di restoran itu menjadi agak berisik.

Pesanan makanan kami datang, dari luar restoran pria itu berteriak, "Wah .... makanannya sudah datang? Oo...kamu suka ya dengan makanan itu?!" Tak seorang pun berpikir bahwa pria itu adalah pria yang baik. Jelas, ia nampak seperti orang mabuk. Kami makan tanpa mengucap satu kata pun, kecuali Erik, yang terus menanggapi pria itu. Kami akhirnya selesai makan dan menuju pintu keluar. Suamiku keluar duluan dan menyuruhku untuk menemuinya di tempat parkir. Pria itu duduk di dekat pintu keluar. "Tuhan, tolong biarkan aku pergi dari sini sebelum pria itu berbicara denganku atau Erik," begitu doaku.

Ketika aku keluar dari pintu, aku membelakangi pria itu sambil berharap ia tidak melihatku. Saat aku melakukan hal itu, Erik yang kugendong malah menggeliat berbalik ke arah pria itu dan mengulurkan kedua tangannya seakan minta gendong. Sebelum aku dapat mencegahnya, Erik sudah ada dalam dekapan pria itu. Erik dengan penuh rasa percaya diri dan kasih sayang, meletakkan kepala mungilnya di pundak pria itu. Mata pria itu tertutup dan aku melihat air mata mengalir melalui pipinya. Tangannya yang kotor dan kasar dengan lembut menopang pantat Erik dan mengelus-elus punggungnya. Keduanya tampak begitu saling mengasihi. Aku terdiam keheranan. Pria itu sempat mengayun-ayun Erik sebelum matanya terbuka dan menatapku. Dengan suara tegas, ia mengatakan kepadaku, "Jaga anak ini baik-baik." Dan aku pun menjawabnya, "Pasti."

Ia seperti tidak rela saat kemudian menyerahkan Eri kepadaku dan mengatakan, "Tuhan memberkatimu, Nyonya. Anda sudah memberiku sebuah hadiah Natal." Setelah itu aku dan Erik menuju mobil. Suamiku keheranan saat melihatku menangis sambil memeluk Erik dan mengatakan, "Ya Tuhan, ya Tuhan, ampuni aku."

Aku baru saja menyaksikan kasih Kristus melalui seorang anak kecil yang tidak melihat dosa, tidak menghakimi. Seorang anak kecil yang melihat jiwa, dan seorang ibu yang melihat dari pakaiannya. Saat itu aku adalah orang Kristen yang buta, yang menggendong seorang anak yang tidak buta. Aku merasa saat itu Tuhan bertanya kepadaku, "Apakah kamu mau berbagi anakmu dengan orang lain sejenak seperti halnya Aku sudah memberikan Anak-Ku untuk menebus dosa umat manusia?" Pria dengan baju compang-camping dan kotor itu mengingatkanku bahwa untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah, kita harus seperti anak kecil (Matius 18:3).


Sumber : Woman ideas Renungan Harian Spirit Woman Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar