Website counter

Rabu, 22 Desember 2010

Permata Sang Ibu

Di suatu pagi yang cerah di kota kuno Roma ratusan tahun yang lalu, di sebuah taman indah yang masih bagian dari sebuah rumah yang dikelilingi oleh kebun anggur, dua orang anak laki-laki sedang berdiri. Mereka mengamati ibu dan teman ibunya sedang berjalan-jalan di antara kebun bunga.

"Apa kamu pernah melihat wanita secantik teman ibu kita itu?" Tanya anak laki-laki yang lebih muda pada kakaknya. "Ia seperti ratu." "Tapi ia tak secantik ibu kita," kata yang lebih tua. "Bajunya memang bagus, tapi wajahnya tidak ramah dan bersahaja. Yang seperti ratu itu ibu kita." "Aku setuju," tanggap adiknya. "Tidak ada wanita lain yang seperti ratu selain ibu kita tersayang." Sesaat kemudian, Cornelia – ibu mereka – menghampiri mereka. Pakaiannya sederhana. Tangannya bersih dari perhiasan. Pun dengan jemarinya dan lehernya – ia tidak memakai cincin atau pun kalung. Sebuah senyum menambah kesahajaan wajahnya saat ia menatap mata kedua anaknya.

"Anak-anak," katanya, "Ada sesuatu yang ingin aku beritahukan kepada kalian." Mereka membungkuk di hadapannya, seperti yang umumnya dilakukan anak-anak Roma pada zaman itu, dan berkata: "Apa itu, Ibu?" "Kalian akan malam dengan kami hari ini, di sini, di taman ini; dan teman ibu ini akan menunjukkan kepada kita sebuah peti penuh perhiasan yang selama ini kalian dengar rumornya." Kedua bersaudara itu melihat dengan malu-malu teman sang ibu. Apa mungkin ia masih punya perhiasan selain perhiasan yang sudah ada di jemarinya? Apa mungkn ia masih punya batu permata selain yang menggantung di lehernya?

Benar, ketika makan malam di luar ruangan itu selesai, seorang pelayan membawa sebuah peti dari dalam rumah. Teman sang ibu pun membukanya, dan membuat mata dua bersaudara itu menjadi silau. Di dalamnya penuh dengan perhiasan – kalung permuata yang seputih susu dan selembut kain satin; batu delima yang merah menyala; batu safir yang birunya seperti langit musim panas pada waktu itu; dan berlian yang bercahaya dan berkilauan seperti cahaya matahari. Kedua bersaudara itu terpana menatap batu-batu berharga itu. "Ah," bisik yang lebih muda, "Andai saja ibu kita memiliki salah satunya!" Akhirnya, peti perhiasan itu ditutup dan dibawa pergi dengan hati-hati.

"Apa kamu benar-benar tidak memiliki perhiasan, Cornelia?" Tanya temannya. "Apa benar, seperti yang aku dengar selama ini, kamu itu miskin?" "Tidak, aku tidak miskin," jawab Cornelia sambil menarik kedua anaknya ke sampingnya, "karena merekalah permataku. Mereka jauh lebih berharga dari semua perhiasanmu." Kedua anak itu tidak pernah melupakan rasa bangga, kasih sayang, dan kepedulian ibu mereka kepada mereka. Dan saat mereka menjadi orang-orang yang berhasil di Roma, mereka masih teringat terus apa yang terjadi di taman itu.

Sumber : Woman ideas Renungan Harian Spirit Woman Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar