Website counter

Sabtu, 29 Mei 2010

Hidup dengan "Hydrocephalus"

By : Lusiana Indriasari

Selain duduk di kursi roda, sekilas tidak ada yang berbeda dengan Gevin Hartono (17). Remaja ini tampak ceria, ramah, pandai bermain "keyboard", dan pintar berbahasa Inggris. Sebuah selang kecil tertanam di bagian belakang kepalanya. Selang itu dipasang sejak Gevin berumur 40 hari setelah anak pertama dari Frangky Hartono (48) dan Liana Purwanegara (46) itu dilahirkan. Ketika hamil Gevin, dokter menemukan kelainan pada kandungan Liana yang sudah memasuki usia 7 bulan. Berdasarkan USG, dokter menyatakan bayi yang dikandung Liana mengalami ketidaksempurnaan dalam pembentukan ruas tulang belakang (spina bifida). Salah satu dampak dari kelainan itu, Gevin mengalami kelainan bawaan lainnya, yaitu hydrocephalus. Kelainan ini menyebabkan cairan otak Gevin tidak bisa dibuang ke rongga perut. Pada kasus Gevin, saluran untuk membuang cairan otak itu juga tidak terbentuk. Akibatnya, kepala anak sulung Frangky ini terus membesar dan otaknya tertekan oleh cairan tadi.

Untuk membuang cairan otak, dokter memasang selang kecil (shunting) dari otak ke rongga perutnya. Menurut Frangky, seharusnya selang harus dipasang 24 jam setelah bayi lahir. Namun, karena waktu itu ia kesulitan mendapat dokter yang tepat, selang baru dipasang setelah Gevin berusia 40 hari. Otak Gevin sudah terlanjur cidera akibat tekanan cairan otak. Namun, orangtua Gevin tidak menyerah. Setelah selang dipasang, Gevin yang mengalami kelumpuhan di tubuh bagian bawah terus dilatih orangtuanya. Umur 2 tahun Gevin sudah mengenal abjad dan pada usia 3 tahun ia mulai belajar bahasa Inggris. Gevin juga belajar main keyboard untuk melatih motorik halusnya. Ayahnya memasukkan Gevin ke sekolah biasa sejak ia masih TK hingga sekarang sudah bisa duduk di kelas II SMA sekolah swasta di Semarang, Jawa Tengah. Sejak 1998, keluarga Franky pindah dari Jakarta ke Semarang, Jawa Tengah. "Untuk pelajaran yang memakai logika, seperti Matematika, Gevin merasa pusing. Namun untuk pelajaran bahasa dan musik, dia senang sekali," kata Frangky.

Serupa dengan Gevin, Stefanus Haryono (23) atau Yono yang tinggal di panti asuhan cacat ganda Bhakti Asih, Semarang, sudah bisa hidup mandiri meski ia mengalami hydrocephalus. Yono dibiayai panti asuhan untuk pemasangan selang ketika umurnya masih 6 bulan. Meski Yono tidak bisa sekolah biasa karena ia selalu pusing jika harus konsentrasi terlalu lama, pemuda ini memiliki banyak keterampilan, seperti membuat gantungan kunci, hiasan dari manik-manik, membuat pigura dan kap lampu. Yono menjual hasil kerajinannya di acara-acara bazar atau kegiatan di panti-panti asuhan. Teknologi shunting membuat hidup Gevin dan Yono yang mengalami hydrochephalus menjadi lebih berkualitas. Meski keduanya memiliki keterbatasan, Gevin dan Yono tetap bisa menjalani hidup normal hingga mereka dewasa. Namun, banyak anak-anak hydrochephalus tidak seberuntung Gevin dan Yono. Tingginya biaya pemasangan shunting, yaitu sekitar Rp 7 juta sampai Rp 15 juta (termasuk biaya perawatan di rumah sakit), membuat anak-anak dari kalangan tak mampu terlambat mendapatkan pertolongan. Tanpa shunting, cairan otak di kepala terus mendesak otak hingga menyebabkan kecacatan.

"Sebelum ada shunting, anak yang terlahir dengan hydrochephalus tidak memiliki harapan hidup karena sudah digugurkan sebelum ia lahir," kata dr Mochammad Amanullah, dokter RS Elizabeth Semarang yang menjadi relawan pelayanan kasih hydrochephalus di Semarang. Hydrochephalus memang kerap terjadi pada bayi, tetapi juga tidak menutup kemungkinan terjadi pada anak-anak ataupun orang dewasa. Pada bayi penyebabnya antara lain karena kelainan bawaan; infeksi otak atau selaput yang disebabkan kuman toksoplasma, meningitis, atau tuberkolosis. Sedangkan pada anak-anak atau orang dewasa bisa disebabkan benturan, tumor; dan pendarahan otak. Untuk memasang shunting, dokter harus lebih dulu memeriksa kondisi otak anak hydrochephalus. "Kalau otaknya sudah kecil atau rusak, operasi pemasangan shunting tidak ada gunanya lagi," ungkap Amanullah. Sebaliknya, apabila otaknya belum rusak anak hydrochephalus bisa tumbuh normal seperti anak lainnya.

Orangtua yang memiliki anak hydrochephalus memang mengalami tekanan sosial yang luar biasa dari lingkungannya. Mereka tidak hanya dicibir atau diolok-olok, tetapi terkadang juga dituduh pernah menjalani perilaku tidak pantas sehingga melahirkan anak-anak dengan kepala membesar. Tri Handayani (33), warga Desa Krasak, Kabupaten Jepara, harus menahan pedih ketika anak-anak kecil di kampungnya ketakutan jika ia membawa Jibril Cesar Ramadhan (2), anak bungsunya yang mengalami hydrochephalus, keluar dari rumah. Jibril yang lingkar kepalanya sudah mencapai 110 sentimeter itu juga sering menjadi tontonan orang-orang dewasa jika ia sedang berada di luar rumah. Mau tidak mau Tri memang harus membawa Jibril ke luar rumah. Pasalnya, sejak ia melahirkan Jibril, suami Tri tidak mau menafkahi dirinya dan anak bungsunya itu. Namun, sang suami masih mau membiayai Eva (8) dan Bintang (4), dua anak Tri lainnya. "Saya terpaksa bekerja untuk memberi makan Jibril dan membelikan susu," tutur Tri yang bekerja sebagai buruh kerajinan di Jepara.

Setiap hari Tri harus mengurus Jibril sendirian. Karena tidak bisa duduk, Jibril setiap hari digendong atau dibaringkan dengan bantal yang ditinggikan. Selain suaminya, Tri juga dikucilkan oleh keluarga besarnya dan juga keluarga suaminya. Ia bahkan pernah diusir mertuanya karena membawa Jibril ke rumah mertuanya. Kini Tri hanya bisa pasrah. Jibril sudah tidak bisa dioperasi lagi karena otaknya sudah mengecil. Setiap pukul 02.00, Jibril selalu menangis atau terkadang kejang-kejang karena desakan cairan otaknya. Hanya obat pengurang rasa sakit yang bisa membuat Jibril tenang.

Berkumpul dan Saling Menguatkan

Sunarti (41) mengamati anaknya, Nova (2), yang berguling-guling di kasur di sebuah ruang diklat provinsi di Jalan Setiabudi, Srondol, Semarang. Meski usianya sudah dua tahun, Nova belum bisa berjalan. Namun anak perempuan itu sudah lancar berbicara, bahkan terkesan cerewet. "Saya sedang berjuang menyeimbangkan tubuh dengan kepalanya," Kata Sunarti, Warga Kota Magelang, Jawa Tengah. Nova yang mengalami hydrochephalus sudah di operasi dua kali untuk memasang shunting. Pemasangan pertama menyebabkan infeksi sehingga harus diulang kembali. Agar tubuh dan kepalanya seimbang, Sunarti terus memberi gizi terbaik kepada Nova agar tubuhnya menjadi gemuk. Nova adalah salah satu penderita hydrochephalus yang dioperasi oleh Wisma Kasih Bunda yang berlokasi di jalan Sanggung Barat, Semarang. Wisma ini didirikan perancang busana Anne Avantie. Sejak 10 tahun wisma ini didirikan sudah lebih dari 800 pasien mendapatkan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma, termasuk operasi.

Untuk memberi pelayanan kesehatan, Wisma Kasih Bunda bekerja sama dengan RS Elizabeth Semarang. Pada perkembangannya, wisma ini tidak hanya melayani penderita hydrochephalus, tetapi juga melayani pasien penyakit lain yang membutuhkan bantuan. "Mereka sudah datang ke wisma, saya tidak bisa memilih-milih mana yang harus di tolong dan mana yang tidak," ungkap Anne. Pasien yang datang ke wisma bukan hanya dari daerah Jawa Tengah, tetapi juga dari luar pulau Jawa, seperti Nias, Padang, dan Papua. Selama ini Wisma Kasih Bunda menjadi tumpuan harapan bagi keluarga penderita hydrochephalus. Bukan hanya harapan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, tetapi juga tempat untuk berbagi rasa.

Setiap ada kesempatan, keluarga penderita hydrochephalus dan penderita penyakit lainnya ini berkumpul di wisma. "Kita berkumpul untuk saling memberi penguatan," kata Margaretha atau Eta, ibu wisma. Penguatan itu membuat Sujiatmi (45) dari Gunung Kidul, Yogyakarta, mau bersusah payah datang ke wisma sambil menggendong Lanjar (5) yang kepalanya besar dan berbentuk segitiga itu. sujiatmi mengaku sering terpuruk karena sampai sekarang masih banyak tetangganya yang menganggap kondisi Lanjar itu sebagai kutukan. "Di sini (wisma), saya punya banyak teman dan mendapat pengetahuan tentang penyakit anak saya. Saya sekarang lebih percaya diri menghadapi orang," kata Sujiatmi. (IND). (Sumber : Harian Kompas, Minggu, 16 Mei 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar