Website counter

Sabtu, 29 Mei 2010

Tukang Sol Sepatu dan Tumor Marfuah


By : Hendriyo Widi

Marfuah (40), warga Desa Mejobo, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus, terbaring di dipan kecil berkasur tipis di kamar berdinding batu bata lembab. Tangan kirinya terkulai lemas, sedang tangan kanannya memegangi kaus merah yang menutupi benjolan coklat lebam sebesar bola tennis di ketiak kiri. Matanya yang kuyu dan sembab memandangi tamu-tamu yang berseliweran menengoknya. Sesekali ia tampak kebingungan dan matanya membasah setiap kali ditanya tentang penyakitnya. "Istri saya terserang tumor ganas. Badannya mengurus dan susah berjalan," kata Suparmin (47), suami Marfuah yang bekerja sebagai tukang sol sepatu di Kudus. Suparmin dan Marfuah tinggal bersama orangtuanya, Surawi (80) dan Legirah (70), di rumah berdinding bata berlantai tanah. Surawi tak lagi bisa bergerak akibat lumpuh karena menua. Legirah pun sudah tua.

Semuanya menjadi tanggung jawab Suparmin, tukang sol sepatu yang berpenghasilan Rp 7.000 – Rp 18.000 per hari. Untuk mendapatkan uang itu, Suparmin mesti mengayuh sepeda onthel tua dari rumah ke pasar Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Pati, yang berjarak sekitar 50 kilometer. "saya berangkat pukul 01.00 dini hari dan pulang pukul 09.00. Kadang tidak bekerja sama sekali karena harus mengobatkan atau menunggui istri," kata Suparmin. Suparmin berkisah, istrinya menderita tumor ganas sejak setahun lalu. Tumor tersebut semula sebesar bola pingpong, namun lama kelamaan membesar seukuran kendi kecil tempat air minum. Agar tumor tidak terus membesar, Suparmin membawa istrinya ke rumah sakit sebanyak tiga kali. Biayanya ditanggung jaminan kesehatan bagi keluarga miskin, sehingga Suparmin cukup menyediakan uang transportasi. Setiap kali ke rumah sakit, Marfuah selalu di operasi karena tumor itu selalu tumbuh lagi seusai dibedah. Hingga operasi yang ketiga kalinya, tumor masih tumbuh. "Istri saya kesakitan dan ketakutan setiap kali operasi. Dia tidak mau dioperasi lagi. Akhirnya saya putuskan untuk pengobatan alternatif," tutur Suparmin.

Kondisi keluarga Suparmin tersebut menggerakkan empati tetangga-tetangga dekat. Setiap kali Suparmin tidak bekerja, pasti ada tetangga yang mengirim makanan. Bahkan beberapa kali mereka iuran sukarela untuk biaya transportasi dan pengobatan alternatif Marfuah. Ketua RT setempat, Dulhadi, mengatakan sebagian besar tetangga mau menyumbang Rp 5.000 – Rp 10.000 per orang, meski untuk hidup sehari-hari saja mereka yang bekerja sebagai buruh cukup susah. Namun, mereka tidak menutup mata ketika ada tetangga yang kesusahan. "Saya juga sempat meminta bantuan ke teman-teman di pabrik. Mereka beriuran sukarela hingga terkumpul Rp 1.080.000," kata Dulhadi. Kepala Desa Mejobo, Suhardi, segera meneruskan laporan tentang sakit marfuah ke Kecamatan Mejobo. Warga pun diimbau untuk menggalang aksi solidaritas. Suhardi juga melapor ke Dinas Sosial Kabupaten Kudus agar Marfuah mendapat perawatan lebih layak.

Suparmin sendiri menyatakan garis atau jalan hidupnya adalah mengantar dan mendampingi Marfuah sampai pada kesembuhan. Berbagai upaya tambahan untuk mencari sesuap nasi telah dilakukan seperti mencari dan menjual barang rongsokan. Suparmin, sang "penyembuh" sepatu orang lain, ingin menjadi "penyembuh" bagi istrinya. Sang tukang sol sepatu yang mencari rejeki dengan kejujuran dan ketulusan hati itu selalu berdoa bagi kesembuhan istrinya setiap kali mengayuh sepeda onthel tuanya menuju tempat kerja. (Sumber : Harian Kompas, Jumat, 21 Mei 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar